Sabtu, 25 April 2009

seriboedjendela_cornerstone

Mulanya Sadhar Budaya. Sempat beberapa kali pentas. Menang pula dalam lomba-lomba. Lalu.... cukup dengan pementasan teater tradisional sajakah?
Semua pemain hening sejenak. Dimotori oleh Mas Budi (sekarang: Romo Budi), Didiek, Yoyok, Bambang, Yayuk, dan Mbak Dina, terjadilah latihan alam di Pantai Ngobaran dan Ngrenean, Gunung Kidul. Mas Whani Dharmawan juga ada di sana waktu itu. Beliaulah yang membakar semangat berkreasi secara lebih luas.
Sekembali dari Ngobaran dan Ngrenean, kami mulai "berkelahi" tentang identitas pengganti Sadhar Budaya. Di bawah beringin Taman FKIP, Mbak Dina mengusulkan Teater Elan, Bambang memilih Teater Sadhar, aku pengin Teater Senthong dan masih ada beberapa calon nama yang lain.
Entah dari mana ujungnya, yang pasti pangkalnya adalah pertanyaan Yoyok : berapa jumlah jendela kampus kita ini? Serempak beberapa mulut menjawab: seribuuuuuuuuuu............. ! Masih kata Yoyok, "Bagaimana kalau Teater Seribu Jendela? Ada yang ndak percaya? Wajib menghitung jendela kampus Universitas Sanata Dharma (USD) malam itu juga. Ada yang nggak setuju? Tolong buktikan dulu jumlah jendela USD kampus Mrican, baru usul nama yang lain." Yang masih waras tentu memilih percaya dan setuju saja. Sedikit masukan dari beberapa teman, redaksinya diperkeren menjadi Teater Seriboe Djendela.
Perjuangan masih berlanjut. Bambang mendesain ikon TSD. Hasilnya Tiga topeng yang berbeda karakter. Aku, Theo, Yanuar, sibuk urus izin ruangan ke Pembantu Rektor III (waktu itu Pak Ari Subagyo, M. Hum.). Hasilnya ruang kosong bekas sekretariat radio Sanata Dharma boleh diperbaiki dan digunakan. Mbak Dina, Yayuk, Ilan, Vijay, atur latihan rutin dan pendaftaran anggota baru. Mas Budi mulai menghilang, bereskan skripsinya. Didiek ....... lu kemane aje!!!!!
Setelah senthong (kamar/sekretariat) didirikan, lahirlah generasi baru: Lala, Nonik, Lina, Kiki, Bayu, Inyong, Citro, Doni, dan masih banyak lagi. Aku ra kelingan maneh.
Theo... lama aku rindu pementasanmu. Masih di Garasi?
Bambang... filmmu mantap, Pek!
Inget foto itu? Abis sembahyang Natal di Gereja Mrican, kita berlari dikejar hujan... hanya untuk foto itu.

0 comments: