Kamis, 20 Agustus 2009

Sekolahku Madanika

PERBEDAAN

Bila perbedaan memang harus ada
Maka bukan lain keindahan menyertainya
Perbedaan umpama bunyi tiupan terompet
Petikan gitar gesekan biola jentikan piano
Dan gebug drum yang mengalir irama sungai

Perbedaan laksana merah jingga kuning
Hijau biru nila dan ungu yang berlapis
Manis kala gerimis

Perbedaan layaknya mata hidung
Mulut telinga kulit dan hati
Yang bersama kerja
Namun masing-masing
Biarkan perbedaan
Akan mengada
Dan mengindah
Diri
Nya



Pontianak, 2007

Pelajaran Agama 2

STIGMATA


Tuhan
Hentikan mereka yang tinggal di genggam
Tangan kiri-Mu menyengat
Amarahku atas luka cambuk
Di sekujur tubuh-Mu

Saat kukejar kupanggil
Tariuku bertebar mereka
Menyusup lewat luka bekas paku
Dan sembunyi di balik luka lambung-Mu
Arghhh ... dapat kubayangkan perih-Mu!

Tak putus kejarku
Kudapat mereka bergegar takut
Bukan padaku
Tapi maut-Mu

Tak kubiarkan waktu menunggu
kuputus telinga mereka
yang tak mau mendengar-Mu

(Petrus.... sarungkan amarahmu!)
Jelas kudengar bisik-Mu
Sontak lemah batinku

Miris kumelihat Kau sambung telinga-telinga itu
dengan tangan kanan-Mu

Sesal kumelihat mereka sujud ampun
Depan rumah Bapa-Mu
Dan Kau buka meski tak mereka ketuk

Sembunyiku di telapak kaki-Mu
kucium harum kasih-Mu
Tuhan

La Verna, 2007

Pelajaran Agama 1

SEBUAH PELAJARAN TENTANG SILSILAH

: Sr. Lid

Seorang Guru sedang mengajar tentang silsilah:
Abraham memperanakkan
Ishak memperanakkan
Yakub memperanakkan
Yehuda memperanakkan
Peres memperanakkan
Hezron memperanakkan
Ram memperanakkan
Aminadab memperanakkan
Nahason memperanakkan
Salmon memperanakkan
Boas memperanakkan
Obed memperanakkan
Isai memperanakkan
Daud memperanakkan
Salomo memperanakkan
Rehabeam memperanakkan
Abia memperanakkan
Asa memperanakkan
Yosafat memperanakkan
Yoram memperanakkan
Uzia memperanakkan
Yotham memperanakkan
Akhas memperanakkan
Hizkia memperanakkan
Manasye memperanakkan
Amon memperanakkan
Yosia memperanakkan
Yekhonya memperanakkan
Sealtiel memperanakkan
Zerubabel memperanakkan
Abihud memperanakkan
Elyakim memperanakkan
Azor memperanakkan
Zadok memperanakkan
Akhim memperanakkan
Eliud memperanakkan
Eleazar memperanakkkan
Matan memperanakkan
Yakub memperanakkan
Yusuf memperanakkan


Sudahlah, Guru!
Aku tetap tak tahu
siapa memperanakkanku!
Potong anak itu


Novisiat, Desember 2007

Sengat Rajer Babat

Kesepian Kota Jembrana

: Bang DS

Serasa tak mau menunggu sang waktu
Laksana hujan bulan Desember
Kesepian Kota Jembrana bangkit dari laut
Mengejar malam
Lalu menyongsong langit lazuardi

Serasa tak mau menunggu sang waktu
Kesepian menarikan kecak sambil luruhkan
Keringat ke bumi Jembrana yang harum

Serasa tak mau menunggu sang waktu
Laksana hujan bulan Desember
Nanoq, Pram, dan Gus Beniq mengejar maut
Kendara syair malam
Lalu susul Hardiman bangkitkan Linus Suryadi
Yang tertidur dalam pelukan Pariyem
Tak mau mau kalah Sunaryono Basuki KS
Mencubit para politisi yang nyepi
dari festival seni budaya

Serasa tak mau menunggu sang waktu
Bang DS menyelinap di balik kesepian Kota Jembrana


Jembrana, Desember 2003

Kurindu masa kecilku

J A M

Andai kaubalik arah larimu
Ingin kubuka
pintu jam waktuku
Biar kurindu
Peluk cium pertama ibuku

Andai kauhenti barang
Sebatang rokok
Ingin
Kuhisap
Puntung
Ayahku
Biar kuteriak
Pukul kasih ayahku


Sendang Sri Ningsih, Desember 2008

Beda? So What Gito Lho!

Bayang di Pagi Hari


Kawan
Coba kita berjalan ke arah Barat pagi ini
Bersama kita saksi
Matahari tak pilih siapa
Pantas miliki bayang

Kawan
Coba kita dengar bisik bayang
Kita yang sejajar
Tak pernah bertengkar
Tentang warna kulit dan bola mata tuannya




Singkawang, Mei 2006

Duh... Mbokdhe

WISKOWE


WIS KOWE KEPLE WIS KOWE KERE KEPLE KERE WIS KOWE KERE WIS KOWE KEPLE WIS KOWE KEPLE WIS KEPLE KERE WIS KOWE KERE KEPLE WIS

WIS

KOWE WIS KEPLE

KEPLE WIS KERE

KERE WIS KOWE

WIS WIS WIS

KERE WIS KEPLE

KOWE WIS KEPLE

KERE WIS KERE

WIS

! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! !



Stasiun Tugu, 2003

Aku mau puisimu

Ke mana

:RTB

Bang!!!
Ke mana
Ke mana kau
Ke mana kau sembunyikan
Ke mana kau sembunyikan puisimu!
Sudah kubongkar perut dan kepalamu

Sudah pula kusisir urat-urat nadimu
Ke mana kau sembunyikan puisimu!
Ke mana kau sembunyikan
Ke mana kau
Ke mana
Bang!!!


Rumah Lebah, April 2003

Sambas Berduka

Dalam Puisi


Dalam puisi aku bernyanyi
Teduhkan hati yang kemarin membara nyala

Dalam puisi aku bersujud
Ujubkan ampun yang kemarin terlupa

Dalam puisi aku lipat lalu
Lekat erat depan dada

Dalam puisi aku baca litani
Sembari pintakan damai
Yang sempat tertutup mendung yang lalu



Sambas, Mei 2006

Sahabatku: daun jari-jari

ANAK-ANAK ASAP


Jangan!

Jangan kau umpat api yang beranak asap
Biar terus kusantap
Resap
Dalam nadi yang tak lagi kusuap

Jangan kau tiup asap-asap itu!

Kobar!
Kobarkan hingga mekar!
Hanya dalam asap-asap yang terus berputar
Seiring nyanyi senar
Tabuh gendang menggelegar
Jiwaku telanjang tergelar
Mengejar
Mengincar
Lalu mencecar
Bakar

Sangar!!!!

Sasar benar
Bara melumat bibir
Menjadi abu

Jangan!
Biarkan api menikahi abu
Mengayah dan mengibu bagi anak-anak asap
Dan jiwamu takkan lesap
Dari hati yang membiru


Singkawang, 24 Maret 2006

Antara Aku Kau dan Bapakmu

Selamat Jalan


Belum lagi sempat kubuka ini mata
Pintu hatimu terlanjur merapat
Oleh kutuk ayah

Hentikan tangismu
Jangan biarkan air mata membelah kedua pipimu
Yang dulu menjadi pesona bagi kedua bibirku

Kelak bila mentari cukup dewasa
Akan kau rasa hidupmu
Ringan bagai angin lalu


Wirobrajan, Juli 2002

aku satu kamu

SATU


enam belas kali dua bagi empat sama dengan delapan bukan hanya enam belas kali dua bagi empat sama dengan delapan melainkan juga dua puluh tiga tambah satu bagi tiga sama dengan delapan bagaimana dengan satu tambah satu dalam logika pelaminanku kamu di sampingku terpisah tanda tambah nyata tak lebih dari satu!!



Alverno, Maret 2005

Cermin para politisi

PANJI

Singkawang tenggelam oleh panji-panji angkuh
berdiri di sepanjang jalan Diponegoro
Pangeran itu larut dalam kesedihan bukan
hanya karena di seluruh punggungnya terluka oleh panji-panji itu
Tapi juga karena keluh para pejalan kaki
Yang yang haus tegur sapa panji-panji



Singkawang, November 2007

Ya ... Aku Telah Kalah

SANTET

Ketika kau kirim aku sekarang bunga berduri jarum
Ngilu sudut-sudut nadiku
Orang-orang yang sedang bertamasya dalam tubuhku
Sekejap berteriak sesak berebut arah
Mereka yang sedang menyelam dalam lautan mimpiku
Mengejang otot. Karam!
Mereka yang sedang mamadu suara di atas panggung jiwaku
Terlindas oleh nyaring suaranya sendiri
Mereka yang sedang menari di atas papan selancar
Ditelan oleh riak darahku

Ya..
Aku memang harus selesai!


Singkawang, Oktober 2007

Luka Seorang Penyair Riau

Luka Hati

: Marhalim Zaini

Seperti yang lalu
Hatimu mulai berdarah lagi
Kau telanjangi dadamu yang tipis
Lalu kau robek hingga menganga
Dan kau tunjukkan pada bintang
Yang sejumlah luka hatimu


Teater Batu Kuala, Februari 2002

Ketika Senja Tiba

Permintaan Terakhir


Di ambang senjaku
Bukan manusia yang kuharap
Menguburkan ragaku
Kelak ketika jiwa harus kembali
Semoga Dia yang menjanjikan kehidupan abadi
Berkenan menyulut api pencucianku



Kuala Lumpur, 2006

Selasa, 18 Agustus 2009

Kemenangan dalam Naik Dangau


Makasih Dedi, Mimi, serta teman-teman penari yang lain ...

Kamsia kawan-kawan penabuh ...

Terima kasih Pak Leo, Bu Leo
saya sudah diizinkan berlatih tari Dayak

Terimakasih Bang Is

Belalek ... Sebuah cerita tentang seorang Panglima
yang memangsa gadis-gadis kampung untuk menambah
kesaktiannya.


Belalek ... Menyerah pada keluguan dan kesederhanaan
seorang pemuda kampung yang berusaha menyelamatkan gadis pujaannya.

Sanggar Enggang Gading: Sebuah Cerita



Menghidupkan kembali ruh yang tinggal dalam pantak, lalu merasukkannya dalam tubuhku yang begitu jawa...

Untunglah tabuh gendang dan alunan gamelan mengantarku pada jiwa yang pantas mendapatkan raga

Bulan menari di atas air sendang

Bulan Jangan Tatap Aku Begitu

Bulan
Jangan tatap aku begitu
Aku tahu harusku terjaga
Namun mataku dipukul kantuk

Bulan
Jangan tatap aku begitu
Aku tahu harusku setia
Namun hatiku disumbat bebal

Bulan
Jangan tatap aku begitu
Aku tahu dua bayang telah mengusap air matanya
Yang darah


Sendang Jati Ningsih, Desember 2008

Ketika Art Center Melepas Kisah

Dua Bocah Laki Perempuan

: Nanoq da Kansas

Dalam cangkir kopi yang semalam kau seduh
Kulihat dua bocah laki perempuan berlari
Menangis dan mencaci laki perempuan dewasa
Yang tak kurang dari dua penggalan tangan
Di belakang mereka

Kucoba perhatikan lebih teliti
Mereka berlari ke arah dua laki-laki
Yang tak begitu jelas bagi penglihatanku
Yang tampak hanyalah
Dua tubuh tipis dan
Burai rambut panjang lagi lurus
Pada kepala mereka

Kucoba usap kedua mataku
Dan kutajamkan benar-benar

Bukan main aku terhenyak melihat diriku sendiri
Berdiri di samping tubuhmu
Menunggu ruh
Yang tak juga menggapai
Dua bocah laki perempuan itu


Denpasar, Desember 2003

Seorang Raja Blogger

ORANG-ORANG MAJUS

: A. Mering

Depan Herodes, orang-orang majus dari
Timur menanyakan keberadaan bayi penyelamat

Apa tujuanmu menemui bayi itu?
Tanya Herodes kepada majus pertama sambil berkerenyit dahi

Jawab orang majus pertama
Aku ingin menggenapi kitab nabi tentang raja dari segala raja

Kamu?
Tanya Herodes kepada majus kedua sambil membangunkan badannya dari singgasana

Jawab orang majus kedua
Aku ingin mempersembahkan emas, kemenyan, dan mur

Kamu??
Tanya Herodes pada majus ketiga sambil memegang erat pedang di pinggangnya

Jawab orang majus ketiga
Aku ingin merasakan suka cita sang bintang penunjuk arah

Kamu???
Tanya Herodes pada majus keempat sambil menghunus pedangnya

Jawab orang majus keempat
Cahaya mengutusku untuk sedikit wawancara
pada kedua orang tuanya

Herodes kembali duduk di singgasana
masih berkerenyit dahi
Masih memegang erat pedang yang
Masih telanjang

Pontianak, Desember 2007

Berendam di sendang bawah pohon sono

Setumpuk Rindu

Sahabatku
Usah kaubawa rindu
Padaku waktu
Kauketuk pintuku
Padaku setumpuk rindu
Yang mulai layu
Telah kusatu
Untuk masa lalu
Bersama kau dulu


Sendang Sono, Desember 2008

Minggu, 16 Agustus 2009

Akhirnya usai juga


Sebuah proses bersama telah usai. Proses-proses baru menanti.

Ketika Singkawang Tersipu

SAN KEW JONG 2

Dua bukit tak lagi sembunyikan satu matahari!

Seorang politisi menjaring matahari sore itu
Katanya ...
Dia dia terpaksa mengamankan matahari
Miris melihat peluh para petani dan gerah para nelayan
Yang membuat mereka tak tampak bahagia

Sejak penangkapan matahari
Para petani dan nelayan justru tak bahagia
Dan terus menangis
Begitu pula dengan sayur mayur dan ikan-ikan
Layu tak lagi segar di perut manusia

Petani, nelayan, sayur, dan ikan-ikan tak kuasa bicara
Tak berani berharap keadaan
Akan kembali seperti semula
Meski mereka tahu
Matahari tak akan muncul dari balik
Dua bukit lagi
Karena politisi itu telah mempersembahkan kepala
Matahari pada perempuan yang bersembunyi
Di belakang istrinya
Yang sejak di hari perkawinannya
Terus mendamba bahagia

Alverno, November 2007

Kali Pertama Aku Datang di Kota Singkawang

SAN KEW JONG 1

Dua bukit mengapit sembunyikan satu matahari
Ketika kokok ayam ketiga
Menyibak tirai pagi matahari berlari melompat
Girang di atas laut barat
Ketika lelah horizon memanggil
Dan pelan-pelan menenggelamkan
Matahari ke dasar laut tanpa kesempatan
Melambaikan tangan ...

Tapi esok pagi
Dua bukit (merebut kembali) mengapit satu
Matahari!

Alverno, Juni 2004

Di Bawah Beringin Soekarno Aku Berbaris

Made, Agung, Eko... Terima kasih atas proses bersama ini

Sabtu, 02 Mei 2009

BARIS BALINESE DANCE


uhh... tak mudah bola mataku kulempar ke sana kemari menatap sunyi!

Rabu, 29 April 2009

Tangis Langit dalam Hati

TANGIS LANGIT DALAM HATI

Dalam catatan harianku-tulisku:

kau
yang telanjur menjelma asa duniaku
yang terbungkus rasa
yang sungguh aku mau tak

kulihat
dalam heningmu
asa dan rasa yang tak beda
sayang bukan bagi
ku tapi nya

Dalam mulutku-bisikku:

adakah tersisa
bagiku sedikit tubuh dan darah
yang kaujanjikan padaku
usai kaubasuh kedua kakiku

Dalam pandangku-kutangkap bayangmu:

bersama ketiga pengikutmu
sembunyi dalam pekatnya malam
namun fortunaku tak larimu
kucium lalu ...

Dalam hatiku-renungku:

sesal merajam
cambuk mengamuk
lecut merengut
seluruh anak cucuku

Wirobrajan, Januari 2002

Senin, 27 April 2009

Bersama Om Nano Asmorondono

14 MEI 1999 SERIBOE DJENDELA LAHIR

Komunitas ini dibangun oleh kaum muda yang menggauli dunia teater tradisional: ketoprak!
Sekitar tahun 1997-1999, BP7 menyelenggarakan festival ketoprak mahasiswa. Ketoprak Mahasiswa USD, Sadhar Budaya, selalu menjadi bagian dari para pemenang.
Ketika BP7 dihapus oleh pemerintah saat itu dan festival ketoprak pun tiada, maka orientasi kegiatan berkesenian menjadi semakin berkembang. Komunitas Sadhar Budaya mbrungsungi menjadi komunitas Teater Seriboe Djendela.
Kegiatan ketoprakan masih eksis meski bukan untuk dilombakan. Seperti halnya lakon yang disutradarai Om Nano Asmorondono, Kangsa Adu Jago berikut.
Sebelumnya, sempat digelar pementasan: Manusia-Manusia Tikus, Terbuang Membusuk, Ilalang, dan Wanita-Wanita Perkasa.


Sungguh aku (tak) tahu ....

AKU (TAK) TAHU

Aku (tak) tahu
Kauingin aku melupakanmu sehingga
kaupasang setumpuk mawar duri di antara kita namun
tetap saja kudengar isakmu tetap saja kurasa detak
jantungmu yang menembus dalam hatiku
Sia-sia kaubunuh itu rasa
kecuali ...

Aku (tak) tahu
Kauingin menghapus catatan yang
kutulis dengan darahku di dinding hatimu
Percayalah tak mungkin
kaumusnah meski kauulang masa itu tapi
Seandainya benar iya aku
memilih untuk tak mengucapkannya
Sia-sia kaupisahkan aku dari diriku sendiri
kecuali ...

Aku (tak) tahu
Seberapa penting dirimu bagi masa
nantiku saat kutemukan kau sebagai bongkah
karang es yang
terus meleleh atas sabda dari mahkotanya
Sebagai orang yang menghadirkanmu
ia cinta betul padamu tapi sebagai harapan yang
selalu terwujud baginya kau
betul-betul tak cinta pada rasamu sendiri
Sia-sia kaukorbankan setetes embun bagi bara
lebih merah dari merahnya merah kecuali ...

Ya, kecuali kau akui pada seluruh ke(tak)
tahuanku bila kau memang sengaja
Ingkar!


Mrican, Agustus 2002

Yang mana Pak mu, nak?

PAK

pak
jika aku anak bapak
izinkan aku menancap kapak
pada ketiak bapak
agar sayap tak lagi berkepak
pada ranjang lain emak
pak


Sosrowijayan, Desember 2001

Sabtu, 25 April 2009

seriboedjendela_cornerstone

Mulanya Sadhar Budaya. Sempat beberapa kali pentas. Menang pula dalam lomba-lomba. Lalu.... cukup dengan pementasan teater tradisional sajakah?
Semua pemain hening sejenak. Dimotori oleh Mas Budi (sekarang: Romo Budi), Didiek, Yoyok, Bambang, Yayuk, dan Mbak Dina, terjadilah latihan alam di Pantai Ngobaran dan Ngrenean, Gunung Kidul. Mas Whani Dharmawan juga ada di sana waktu itu. Beliaulah yang membakar semangat berkreasi secara lebih luas.
Sekembali dari Ngobaran dan Ngrenean, kami mulai "berkelahi" tentang identitas pengganti Sadhar Budaya. Di bawah beringin Taman FKIP, Mbak Dina mengusulkan Teater Elan, Bambang memilih Teater Sadhar, aku pengin Teater Senthong dan masih ada beberapa calon nama yang lain.
Entah dari mana ujungnya, yang pasti pangkalnya adalah pertanyaan Yoyok : berapa jumlah jendela kampus kita ini? Serempak beberapa mulut menjawab: seribuuuuuuuuuu............. ! Masih kata Yoyok, "Bagaimana kalau Teater Seribu Jendela? Ada yang ndak percaya? Wajib menghitung jendela kampus Universitas Sanata Dharma (USD) malam itu juga. Ada yang nggak setuju? Tolong buktikan dulu jumlah jendela USD kampus Mrican, baru usul nama yang lain." Yang masih waras tentu memilih percaya dan setuju saja. Sedikit masukan dari beberapa teman, redaksinya diperkeren menjadi Teater Seriboe Djendela.
Perjuangan masih berlanjut. Bambang mendesain ikon TSD. Hasilnya Tiga topeng yang berbeda karakter. Aku, Theo, Yanuar, sibuk urus izin ruangan ke Pembantu Rektor III (waktu itu Pak Ari Subagyo, M. Hum.). Hasilnya ruang kosong bekas sekretariat radio Sanata Dharma boleh diperbaiki dan digunakan. Mbak Dina, Yayuk, Ilan, Vijay, atur latihan rutin dan pendaftaran anggota baru. Mas Budi mulai menghilang, bereskan skripsinya. Didiek ....... lu kemane aje!!!!!
Setelah senthong (kamar/sekretariat) didirikan, lahirlah generasi baru: Lala, Nonik, Lina, Kiki, Bayu, Inyong, Citro, Doni, dan masih banyak lagi. Aku ra kelingan maneh.
Theo... lama aku rindu pementasanmu. Masih di Garasi?
Bambang... filmmu mantap, Pek!
Inget foto itu? Abis sembahyang Natal di Gereja Mrican, kita berlari dikejar hujan... hanya untuk foto itu.